Pikiran Rakyat, Kamis, 16 Nopember 2006 (http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2006/112006/16/1102.htm)
Ikamaja dan Pertanian Modern
PENGEMBANGAN
agrobisnis nasional, tak terlepas dari peningkatan kemampuan sumber
daya manusia pertanian. Ini di antaranya diperoleh melalui pengembangan
ilmu dan kemampuan usaha berbagai komoditas bernilai jual dan daya saing
tinggi di pasaran.
MENTERI Pertanian, Anton Apriyantono, mengamati tampilan produk sayuran
dan buah-buahan spesifik yang dikembangkan alumni magang Jepang, saat
Temu Karya Nasional Ikamaja ke-2/2006, di Desa Cibodas, Kec. Lembang,
Kab. Bandung, Kamis (9/11) lalu. *KODAR SOLIHAT/"PR"
Adalah para lulusan magang pertanian di Jepang atau dising kat Ikamaja
(Ikatan Keluarga Alumni Magang Jepang), yang menjadi salah satu
pionirnya. Mereka memperkenalkan produk-produk spesifik asal Jepang,
untuk dikembang kan dan dibisniskan secara lokal sampai dikenal menjadi
produk agro "asli" daerah.
Magang usaha pertanian ke Jepang merupakan program dari Departemen
Pertanian mulai tahun 1984, bekerja sama dengan asosiasi pertanian
Jepang. Siswa peserta umumnya para pelajar/lulusan Sekolah Pembangunan
Pertanian-Sekolah Pertanian Menengah Atas (SPP-SPMA)/ sederajat berusia
22-27 tahun dengan pengalaman usaha bertani minimal 2,5 tahun.
Mereka dididik di Jepang selama 8-12 bulan yang sampai tahun 2006 ini
sudah menghasilkan 856 orang lulusan tergabung dalam Ikamaja. Selama di
Jepang, para peserta magang diperkenalkan cara bertani dengan teknik
modern, pengembangan wawasan bisnis, pengenalan komoditas berprospek
bisnis, manajemen usaha tani modern, informasi pasar, dll.
Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Pertanian Departemen Pertanian,
Ato Suprapto, menyebutkan, para alumni magang pertanian di Jepang,
diharapkan menjadi agen pembangunan di daerahnya dengan membuka lapangan
kerja di lingkungannya. Ilmu pengembangan bisnis dan usaha tani dari
Jepang, diterapkan untuk memperoleh wawasan dan peluang bisnis baru
dengan memanfaatkan potensi sekitar.
Melalui magang bertani di Jepang, peserta diubah pula pandangannya
sehingga agrobisnis menjadi bergengsi. Ini diharapkan menjadi bekal bagi
para pemuda tani untuk bersaing secara tangguh di kancah bisnis
pertanian lokal dan internasional.
Menurut Ato, magang pertanian ke Jepang tetap menjadi program tahunan
Departemen Pertanian, di mana tahun 2006-2007 saja, dikirimkan lagi 56
orang pemuda tani. Ini diharapkan pula menjadi salah satu daya tarik dan
inovasi bagi berbagai sekolah pertanian untuk lebih menarik minat calon
siswa.
Menurut Ketua Ikamaja Nasional, Ishak, para lulusan magang pertanian di
Jepang sebagian besar muncul menjadi para pelaku agrobisnis berhasil,
sebagian menjadi tenaga penyuluh andal di daerah, dan sangat sedikit
yang gagal. Tentu saja, ini diperoleh melalui keseriusan oleh
masing-masing individu yang magang usa ha bertani di Jepang tersebut.
Pengamat dari sebuah organisasi pertanian Jepang, Takumi Yamazaki,
menilai, secara kemampuan teknis para pemuda tani Indonesia sudah
menyamai dengan Jepang. Namun mereka mesti dipacu dalam pemanfaatan
waktu, di mana para pemuda tani asal Indonesia masih di bawah peserta
magang asal negara lain.
**
IKUT program magang bertani umumnya bukan ajang memperoleh pekerjaan,
namun kesempatan memperdalam dan mengembangkan ilmu bidang yang ditekuni
untuk berusaha. Prinsip ini disadari dan diterapkan oleh Ishak,
sehingga berhasil menjadi seorang usahawan pertanian di daerah asalnya,
Desa Cibodas, Kecamatan Lembang, Kab. Bandung.
Di atas lahan seluas lima hektare milik keluarga, Ishak bersama
saudaranya, Bon Bon Purbansyah, kemudian merintis dan berbisnis berbagai
produk pertanian asal Jepang. Sebut saja, tomat momotaro atau tomat
daging, satoimo atau talas jepang, edamame atau kacang kedelai, bawang
daun jepang, kacang bulu jepang, terong nasubi atau terong jepang, cabe
jepang, dll., menjadi andalan bisnis mereka.
Menurut Ishak, apa yang diperoleh, tak terlepas dari ketekunan, pantang
menyerah, dan jeli menerapkan ilmu magang usaha bertani dari Jepang.
Sebelumnya, kemampuan dan pengetahuan bisnis pertaniannya pun masih
pas-pasan dan sama seperti umumnya para petani lain.
Menurut Ishak, bisnisnya dimulai dengan memanfaatkan sisa uang saku
yang diperoleh selama magang di Jepang selama delapan bulan pada tahun
1987. Sepulangnya, ia masih memiliki uang 240.000 yen atau jika
dirupiahkan sebesar Rp 1,2 juta, kemudian dijadikan modal usaha bertani.
Berbagai benih buah-buahan dan sayuran asal Jepang yang dibawa,
kemudian ditanam dan tumbuh baik di Desa Cibodas, yang kebetulan
memiliki iklim dan syarat tumbuh sesuai. Kontan saja, produk-produk yang
dibudidayakan lalu dikembangkan menjadi bisnis itu menarik perhatian
pasar, apalagi bentuk, rupa, dan rasanya unik.
Disebutkan, pada awalnya produk buah-buahan dan sayuran yang
diusahakan, sebatas untuk memasok konsumsi masyarakat Jepang di
Indonesia yang sekira 8.000 orang. Belakangan, usaha dikembangkan dengan
memasok berbagai pasar modern sebagai pasaran utama.
Walau asalnya impor Jepang, karena sudah lama dibudidayakan lokal,
produk-produk yang diusahakannya kini sudah menjadi produk "asli"
Kecamatan Lembang. Omzet usaha pun berkembang menjadi bernilai ratusan
juta rupiah per tahun, dan mampu mempekerjakan 60 orang karyawan.
Kendati sudah sukses, namun Ishak masih memiliki banyak cita-cita,
terutama mengembangkan pembangunan pertanian di daerahnya. Ini di
antaranya meningkatkan kembali daya tarik usaha bertani pada generasi
muda, dengan memanfaatkan sumber daya alam sekitarnya yang sangat
mendukung. (Kodar S/ "PR") ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar